•12/02/2009
Mereka berdesakan di depan pintu luar__dua anak dengan jaket kedodoran yang sudah rombeng.
“Ada Koran bekas, bu?”
Aku sedang sibuk. Aku ingin menolak__tapi kulihat kaki mereka. Sandal kecil mereka tipis dan basah karena salju. “Masuklah. Saya akan bikinkan kalian susu coklat panas.” Kami tak bicara. Sandal mereka yang basah meninggalkan bekas di lantai.
Aku membuatkan mereka susu coklat dan roti dengan selai untuk membentengi diri mereka terhadap rasa dingin di luar. Lalu aku kembali ke dapur dan meneruskan anggaran rumah tanggaku ...
Kesunyian dalam ruang depan terdengar olehku. Aku melongok ke dalam.
Si anak perempuan memegang cangkir kosongnya di kedua tangannya, menatapnya. Si anak lelaki bertanya dengan suara datar, “Bu…Ibu orang kaya, ya?”
“Saya orang kaya? Wah, bukan!” aku menoleh pada kain-kain sarung bantal yang lusuh.
Si anak perempuan menaruh kembali cangkirnya ke atas lepek dengan hati-hati.
“Cangkir punya Ibu satu set dengan lepeknya.” Suaranya terdengar iba, akibat rasa lapar yang bukan berasal dari perut.
Mereka lalu pergi, memeluk ikatan Koran mereka untuk melawan angin.
Mereka tidak mengucapkan terima kasih. Mereka tidak perlu melakukannya, karena mereka sudah melakukan lebih dari itu.
Cangkir dan piring tembikar biru sederhana, tapi satu set.
Aku mencicipi kentang dan mengaduk kaldu.
Kentang dan kaldu coklat, atap tempat bernaung, suami yang memiliki pekerjaan tetap__semua ini satu set juga.
Aku memindahkan kursi-kursi menjauhi perapian dan membersihkan ruang tamu. Jejak lumpur sandal kecil itu masih basah pada perapian. Aku membiarkannya. Aku ingin jejak itu tetap ada kalau-kalau aku akan lupa lagi bahwa aku ini sebenarnya AMAT KAYA ... (Marion Doolan).
Sumber : http://www.akupercaya.com
“Ada Koran bekas, bu?”
Aku sedang sibuk. Aku ingin menolak__tapi kulihat kaki mereka. Sandal kecil mereka tipis dan basah karena salju. “Masuklah. Saya akan bikinkan kalian susu coklat panas.” Kami tak bicara. Sandal mereka yang basah meninggalkan bekas di lantai.
Aku membuatkan mereka susu coklat dan roti dengan selai untuk membentengi diri mereka terhadap rasa dingin di luar. Lalu aku kembali ke dapur dan meneruskan anggaran rumah tanggaku ...
Kesunyian dalam ruang depan terdengar olehku. Aku melongok ke dalam.
Si anak perempuan memegang cangkir kosongnya di kedua tangannya, menatapnya. Si anak lelaki bertanya dengan suara datar, “Bu…Ibu orang kaya, ya?”
“Saya orang kaya? Wah, bukan!” aku menoleh pada kain-kain sarung bantal yang lusuh.
Si anak perempuan menaruh kembali cangkirnya ke atas lepek dengan hati-hati.
“Cangkir punya Ibu satu set dengan lepeknya.” Suaranya terdengar iba, akibat rasa lapar yang bukan berasal dari perut.
Mereka lalu pergi, memeluk ikatan Koran mereka untuk melawan angin.
Mereka tidak mengucapkan terima kasih. Mereka tidak perlu melakukannya, karena mereka sudah melakukan lebih dari itu.
Cangkir dan piring tembikar biru sederhana, tapi satu set.
Aku mencicipi kentang dan mengaduk kaldu.
Kentang dan kaldu coklat, atap tempat bernaung, suami yang memiliki pekerjaan tetap__semua ini satu set juga.
Aku memindahkan kursi-kursi menjauhi perapian dan membersihkan ruang tamu. Jejak lumpur sandal kecil itu masih basah pada perapian. Aku membiarkannya. Aku ingin jejak itu tetap ada kalau-kalau aku akan lupa lagi bahwa aku ini sebenarnya AMAT KAYA ... (Marion Doolan).
Sumber : http://www.akupercaya.com